TAKHALLI
sesungguhnya beruntunglah orang yang
mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang
mengotorinya. (Q.S As Syams (91) : 9-10)
Takhalli adalah mensucikan diri. Dalam hal ini disimbolkan dengan
kisah pembedahan hati Nabi oleh Malaikat Jibril dengan air zam-zam.
Harap dipahami bahwa pembedahan hati tersebut hanya simbol!. Maksud dari
simbol itu adalah untuk menemui Allah harus bersih/suci dari penyakit
hati. Artinya adalah manusia harus berusaha mensucikan dirinya. Kenapa?
Karena Allah itu Maha Suci. Dia hanya akan menerima hamba-Nya yang suci.
Mereka yang belum suci ya belum bisa kembali kepada-Nya. Ini berarti
mereka masih
berada di alam surga dan neraka-Nya.
Sebagian dari mereka masih melakukan kejahatan. Sebagian dari mereka
beribadah karena takut neraka (mental budak) dan sebagian mereka lagi
beribadah karena berharap surga (mental pedagang). Jadi masih harus
dilatih! Masih harus disempurnakan!
Bertakhalli adalah jihad yang
paling besar karena harus mengalahkan diri sendiri. Harus mengendalikan
hawa nafsunya sendiri. Sifat-sifat iri, dengki, munafik, tamak, dan
perbuatan lain yang merugikan orang haruslah dibuang jauh-jauh. Jelas
bahwa musuh terbesar manusia bukanlah siapa-siapamelainkan dirinya sendiri. Ada
sebuah ungkapan bijak dari Walt kelly yang mengatakan :
“Kita telah menemukan sang musuh,
dan ternyata dia adalah diri kita sendiri”. Dalam suatu Hadistnya, Nabi
juga mengatakan bahwa orang mukmin yang kuat bukanlah yang kuat fisiknya
melainkan yang mampu mengalahkan hawa nafsunya.
TAHALLI
Sesungguhnya Allah menyuruh berlaku
adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah
melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi
pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. (Q.S An Nahl(16)
: 90)
Tahallli adalah mengisi hidup kita dengan kebajikan atau perbuatan
yang baik seperti jujur, kasih sayang, sabar, ikhlas, mudah memberi maaf,
menegakan perdamaian dan menebar salam kepada sesama manusia. Nah,
sekarang ini sebagian umat Islam memposisikan dirinya ekslusif. Paling
benar. Merasa paling masuk surga sendirian sehingga mengharamkan menjawab
salam dari umat non muslim.
Padahal fatwa tersebut jelas
menyalahi perintah Allah. Bahkan di Al Quran surah An Nisaa (4):94, pada
saat berperang orang mukmin itu dilarang mengatakan “kamu bukan mukmin”
terhadap orang yang mengucapkan salam. Dalam situasi perang saja kita
diperintahkan demikian apalagi dalam situasi damai!. Ayat lain di Al Quran
juga memerintahkan hal yang sama :
Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha
Pemurah ialah mereka yang berjalan dimuka bumi ini dengan rendah hati.
Apabila orang jahil menyapa mereka, maka mereka berkata “Salam” (kata-kata
yang baik). (Q.S Al Furqan (25) : 63)
Coba kita baca kembali ayat diatas.
Sangat jelas bahwa orang mukmin yang rendah hati pun akan membalas salam
bahkan dari orang jahil atau iseng sekalipun. Inilah mukmin yang mampu
mengajak orang lain ke sorga dengan menebar salam. Ayat diatas adalah ayat
Quran, jadi tidak perlu ditanya lagi keshahihannya. Sayangnya oleh para
ulama, ayat diatas dibatalkan oleh Hadist yang melarang menjawab salamnya
orang non muslim. Tidaklah mengherankan jika kemudian Islam dipandang
sebagian orang non muslim sebagai agama yang tidak bersahabat. Sungguh
aneh jika Al Quran dihapus oleh Hadist. Seharusnya kita hanya mengambil
Hadist yang tidak bertentangan dengan Quran. Kalau ada Hadist yang
bertentangan dengan Quran sebaiknya tidak masuk hitungan
meski diriwayatkan oleh perawi yang terkenal sekalipun. Perbuatan dan
perkataan Rasul tentu disesuaikan dengan kondisinya pada saat itu. Kita
harus melihat kemungkinannya bahwa Hadist itu sifatnya kasus per kasus ()
dan tidak bisa digeneralisasi untuk semua keadaan. Dalam hal perintah Nabi
untuk membunuh cecak misalnya, Hadist ini tidak bisa digeneralisasi bahwa
semua cecak harus dibunuh sebab Nabi mengatakan perintah demikian karena
pada saat itu Nabi terkena kotoran cecak. Malah dalam Hadist lainnya, Nabi
justru
memerintahkan kita untuk tidak
membunuh binatang yang tidak mengganggu.
Begitu juga dengan Hadist yang
melarang menjawab salam dari kalangan non muslim harusnya jangan kita
telan bulat-bulat. Jadi dalam hal ini kita harus berhati-hati dengan
Hadist. Bukan berarti kita ingkar Hadist. Bukan!! Tapi berhati-hati dalam
berfatwa menggunakan Hadist. Jangan kita terjebak mengagung-agungkan
(taklid) kepada perawinya. Tidak ada jaminan dari Allah atau Nabi Muhammad
yang menyatakan bahwa perawi A atau B adalah perawi yang harus ditaati,
dipercaya karena bebas dari kesalahan.
Sejarah Hadist sendiri dimulai pada
tahun 100 H dimana Khalifah Umar bin Abdul Aziz mendorong penulisan
Hadist. Jika Al Qurannya pada masa itu sudah baku dan hanya ada satu yakni
versi Ustman bin Affan -versi lainnya dibakar agar tidak terjadi
perbedaan-, tidaklah demikian dengan Hadist. Di masa Umar bin. Abdul Aziz
-yang wafat 101 H- riwayat, dongeng, sabda Yesus, dan doktrin di luar Al
Quran menjamur dan tak terkontrol sehingga pemalsuan Hadist sulit untuk
bisa di edit kembali. Lebih dari 125 tahun kemudian, Bukhari baru muncul
di permukaan bumi. Tak alang kepalang jumlah Hadist, lebih dari sejuta
Hadist. Bukhari sendiri menyeleksi sekitar
600.000 Hadis. Dan dari yang
terseleksi pun banyak yang miring kepada daulat Abbasiyah.
Coba bayangkan, menguji validitas
Hadist setelah 200 tahun Nabi wafat, tentunya merupakan pekerjaan yang
hampir mustahil dikerjakan manusia. Karena itu, tumbuhlah ilmu-ilmu untuk
menyaring Hadist, misalnya uji isnad/rijal, cara periwayatan, dan juga
matan. Jika Alquran yang ribuan ayat saja perlu kejelian untuk menjadikannya
kitab di masa Umar bin Khatthab, bagaimana membakukan Hadist yang
jumlahnya lebih dari sejuta? Secara logis, “Pesan berantai” dari Nabi
Muhammad hingga ratusan tahun ke depan tentu akan sulit ditelusuri
keasliannya. Tidak heran jika ada kelompok yang saling berbeda pendapat
akhirnya saling menuduh bahwa kelompok itu menggunakan Hadist palsu.
Pertengkaran dalil seperti ini jelas akan mengorbankan ukhuwah Islam demi
ego kelompoknya masing-masing.
Setelah pembakuan Hadist secara
besar-besaran, terbukti umat Islam malah kian tertinggal dibandingkan umat
agama lain karena patokan mereka cukup dengan Hadist saja, bahkan sebagian
lagi malah ada yang “menuhankan” Hadist dan melupakan Quran. Dengan
demikian, dalam menyikapi Hadist, harusnya kita sangat berhati-hati karena
walau bagaimanapun ada Hadist yang sifatnya kasuistis (per kasus) dan ini
bisa berbahaya bila digeneralisasi dan dijadikan hukum.
Hanya Al Quranlah yang dijamin
keasliannya oleh Allah. Yang terbaik adalah menafsirkan Quran dengan
Quran. Boleh saja kita menafsirkan Quran dengan Hadist asal Hadistnya
tidak bertentangan dengan Quran. Kalau semua Quran ditafsirkan dengan
Hadist ya umat Islam bakalan mandeg. Al Quran akhirnya cuma dikeramatkan.
Orang malah lebih sering ngaji Quran ketimbang mengkaji Quran. Umat Islam
jadi malas berpikir untuk mengkaji kembali Quran karena merasa sudah cukup
ditafsirkan oleh Hadist. Al Quran jadinya
malah tertutup untuk bisa
ditafsirkan kembali sesuai perubahan jaman. Jadilah kita umat Islam abad
ke-21 dengan produk pemikiran di abad silam. Islam akhirnya tidak bisa
menjadi rahmatan lil ‘alamin yang mampu menjadi solusi di segala jaman.
Sungguh kita membutuhkan ulama-ulama reformis yang mampu membenahi citra
Islam sebagai agama yang terbuka terhadap perkembangan jaman.
TAJALLI
Maka Kami bukakan tirai yang
menutupi engkau, oleh sebab itu pandangan engkau amatlah terangnya. (Q.S.
Qaaf (50) : 22)
Pada proses takhalli dan tahalli,
seseorang berarti telah makrifat kepada Af’al, Asma dan Sifat-Nya. Puncak
dari seagala makrifat adalah makrifat Dzat. Inilah yang disebut tajalli.
Dalam istilah lain disebut juga Musyahadah atau Mukhasafah. Manusia yang
sudah mencapai tajalli berarti ia telah bermikraj.
Dalam peristiwa Isra Mikraj, Nabi
diceritakan telah sampai ke “Pohon Sidrah” (Pohon Lotus) yang biasa
dikenal dengan sebutan Sidratul Muntaha. Dengan Mikraj berarti beliau
telah sampai kepada bayt Allah lalu menemui-Nya. Nabi mengatakan : Ra’aitu
Robbii fii ahsani su’uura (Aku telah melihat Tuhanku yang seelok-eloknya
rupa yang tiada umpamanya). Dengan demikian, tidak ada hijab lagi antara
diri dan Tuhannya. Yang ditemui adalah Cahaya diatas cahaya!
Allah adalah cahaya semua langit dan
bumi. Perumpamaan cahaya Allah adalah seperti sebuah lubang yang tak
tembus yang didalamnya ada pelita besar. Pelita itu didalam kaca (dan)
kaca itu bak bintang yang memancarkan sinar gemerlapan yang dinyalakan
(dengan minyak) dari pohon yang diberkati –yaitu pohon zaitun yang tidak
tumbuh di timur maupun barat. Minyaknya pun bercahaya meski tidak disentuh
api. Cahaya diatas cahaya. Allah memberikan cahaya pada orang yang
menghendaki cahaya-Nya. (Q.S An Nuur (24):35)
Nah, sholatnya orang-orang beriman
(makrifat) sangatlah khusyu karena ketika mereka sholat, tidak ada hijab
antara ia dan Tuhannya. Nabi bersabda :
“Sholat adalah mikrajnya orang-orang
yang beriman”. Ya! Hanya orangorang berimanlah yang mengalami Mikraj
ketika sholatnya Ini artinya mereka tidak menyembah adam sarpin
(kekosongan). Mereka bashar (melihat) Allah ketika sholat dan Allah pun
bashar kepada mereka. Sunan Bonang –salah satu walisongo, penyebar agama
Islam di nusantara- pernah bertutur, seperti yang tertulis dalam Suluk
Wujil sebagai berikut :
Endi ingaran sembah sejati
Aja nembah yen tan katingalan
Temahe kasor kulane
Yen sira nora weruh
Kang sinembah ing dunya iki
Kadi anulup kaga
Punglune den sawur
Manuke mangsa kenaa
Awekasa amangeran adam sarpin
Sembahe siya-siya
Artinya : “manakah yang disebut
sholat yang sesungguhnya? Janganlah menyembah bila tidak tahu siapa yang
disembah. Akibatnya akan direndahkan martabat hidupmu. Apabila engkau
tidak mengetahui siapa yang disembah didunia ini, engkau seperti menyumpit
burung. Pelurunya disebar tetapi tak ada satupun yang mengenai burungnya.
Akhirnya cuma menyembah adam sarpin, penyembahan yang tiada berguna”
Dalam beragama, ada golongan orang
‘alim dan ada golongan orang ‘arif (telah makrifat). Perbedaannya adalah,
kalau orang ‘alim mengenal Tuhan hanyalah sebatas percaya saja. Syahdatnya
pun hanya diucapkan di bibir. Sedangkan orang ‘arif mengenal Tuhannya
adalah melalui (penyaksian). Syahadatnya bukan hanya diucapkan belaka melainkan
telah dibuktikannya. Jika seseorang sudah mencapai tahap alim maka
seyogyanya ia meningkatkan kualitas dirinya menjadi seorang yang ‘arif. Orang
yang telah mengenal Tuhannya akan mampu sholat terus menerus dalam keadaan
berdiri, duduk, bahkan tidur nyenyak Intinya adalah segala perbuatannya
adalah sholat. Inilah yang disebut “sholat daim”. Aladzina hum ‘ala
sholaatihim daa’imuun. Yaitu mereka yang terus menerus melakukan sholat
(Q.S Al-Ma’aarij : 70:23)
Mereka yang mampu sholat daim adalah
mereka yang tidak akan berkeluh kesah dalam hidupnya dan senantiasa
mendapat kebaikan sebagaimana disampaikan Q.S 70 : 19-22. Nah, sholat daim
ini modelnya seperti apa? Ah.. tentu saja tidak bisa dibeberkan disini
karena sholat daim adalah “oleh-oleh” dari hasil pencarian spiritual
manusia. Tidak bisa diceritakan ke semua orang kecuali mereka yang telah
memiliki kematangan spiritual. Ibarat pelajaran fisika S3, ya tentu tidak
bisa diajarkan kepada anak SMP. Harus lulus dulu S2- nya agar menerima
ilmu tersebut lebih mudah.
Sholat daim adalah sholatnya orang
‘arif yang telah mengenal Allah. Ini adalah sholatnya para Nabi, Rasul,
dan orang-orang ‘arif. Ilmu ini memang tidak banyak diketahui orang awam.
Lantas bagaimana dengan sholat lima waktu? Nah sholat lima waktu
sebenarnya adalah jumlah minimal saja yang harus dikerjakan manusia untuk
mengingat Allah. Pada hakekatnya kita malah harus terus menerus untuk
mengingat Allah sebagaimana firman-Nya :
Dan ingatlah kepada Allah diwaktu
petang dan pagi (Q.S Ar-Ruum (30) : 17)
Dan sebutlah nama Tuhanmu pada pagi
dan petang. (Q.S Al-Insaan (76) : 25)
Ayat diatas bukan berarti mengingat
Allah hanya dua kali saja yaitu waktu pagi dan petang sebab makna ayat
diatas justru sehari-semalam! Yakni pagi dimulai dari jam 12 AM-12 PM,
sampai dengan petang jam 12 PM-12 AM, begitu seterusnya. Nah, karena tidak
semua orang sanggup untuk mengingat Allah dalam sehari-semalam maka sholat
lima waktu itu adalah merupakan event khusus untuk mengingat-Nya. Jika
orang awam tidak ada perintah sholat lima waktu maka tentu saja Allah akan
mudah terlupakan. Kalau Allah
terlupakan maka bumi ini bisa rusak
oleh berbagai kejahatan yang dilakukan manusia. Orang awam perlu dilatih
disiplin melalui sholat lima waktu ini untuk mengingat Allah. Dengan
mengingat Allah, kontrol diri akan lebih kuat.
Namun demikian, janganlah merasa
cukup puas hanya dengan sholat lima waktu. Tingkatkanlah agar kita mampu
melakukan sholat daim. Mari kita simak kembali ungkapan Sunan Bonang yang
tertulis dalam Suluk Wujil :
Utaming sarira puniki
Angawruhana jatining salat
Sembah lawan pujine
Jatining salat iku
Dudu ngisa tuwin magerib
Sembahyang araneka
Wenange puniku
Lamun aranana salat
Pan minangka kekembaning salat daim
Ingaran tata krama
Artinya : “Unggulnya diri itu
mengetahui hakekat sholat, sembah dan pujian. Sholat yang sebenarnya bukan
mengerjakan isya atau magrib. Itu namanya sembahyang, apabila disebut sholat
maka itu hanya hiasan dari sholat daim. Hanyalah tata krama”
Dari ajaran Sunan Bonang diatas,
maka kita bisa memahami bahwa sholat lima waktu adalah sholat hiasan dari
sholat daim. Sholat lima waktu ganjarannya adalah masuk surga dan
terhindar neraka. Tentu yang mendapat surga pun adalah mereka yang mampu
menegakan sholat yaitu dengan sholat tersebut, ia mampu mencegah dirinya
dari berbuat keji dan mungkar.
Sayangnya, saat ini banyak orang
yang hanya meributkan sholat fisiknya saja dan melupakan hakekat sholat
itu sendiri. Seringkali jika terdapat perbedaan pada gerakan ataupun
bacaan sholat, mereka saling ribut mengatakan sholatnya paling benar
dengan menyebut sejumlah Hadist yang diyakininya benar.
Harap diingat! Perbedaan gerak
maupun bacaan adalah hal yang wajar karena Nabi sendiri tidak mengajarkan
sholat secara khusus melainkan hanyamengatakan “Sholatlah sebagaimana aku
sholat”. Nah karena banyak orang yang menyaksikan sholatnya Nabi, maka
penglihatan masing-masing orang bisa berbeda sehingga tidaklah aneh jika
ada perbedaan dikemudian hari.
Mengapa Nabi tidak mengajarkan
sholat secara khusus? karena gerakan sholat yang dicontohkan Nabi sudah
tidak asing lagi bagi masyarakat Arab. Gerakan sholat yang dicontoh Nabi
berasal dari agama Kristen Ortodoks Syiria yang telah muncul satu abad
sebelum Nabi lahir. Ritual sholat mereka dikerjakan dalam tujuh waktu.
Gerakannya ada berdiri, ruku dan sujudnya mirip sekali dengan sholat lima
waktu umat Islam. Cara sholat umat Kristen Ortodoks Syiria sampai hari ini
pun masih bisa kita saksikan. Bagi umat Islam yang tidak mengerti sejarah,
pasti akan sewot dan mengatakan mereka telah mencontek sholatnya orang
Islam atau menuduh mereka melakukan kristenisasi gaya baru. Padahal,
justru kitalah yang mengadopsi sholat dari mereka.
Dengan demikian, Nabi ternyata tidak
membawa syariat baru. Nabi hanya memodifikasi berbagai syariat yang telah
ada sebelumnya. Contoh lainnya adalah Ibadah Haji dan Umroh. Ibadah ini
sudah menjadi kelaziman pada jaman pra Islam. Hampir seluruh ritualnya
sama dengan yang dilakukan umat Islam pada saat sekarang, yakni memakai
pakaian ihram, wukuf, melempar jumrah, sa’i dll. Nabi hanya mewarisi saja
dengan menyingkirkan ibadah ini dari kesyirikan dan diganti dengan kalimah
thoyibah.
Begitu juga dengan
pengagungan bulan Ramadhan,
perkumpulan di hari jum’at, telah ada sebelumnya pada jaman pra Islam.
Aturan pra Islam lainnya yang diadopsi dari tradisi hanifiyyah antara lain
: pengharaman minum arak, riba, zina, memakan babi, kemudian ada juga
pemotongan hukum tangan pelaku pencuri dlsb. Dengan demikian, Nabi hanya
melakukan modifikasi saja pada beberapa syariat dan aturan. Termasuk dalam
hal poligami yang tadinya dilakukan orang Arab pra Islam tanpa batas
kemudian oleh Nabi dibatas menjadi empat
istri sesuai perintah dari Allah.
Nah, fakta-fakta diatas dapat Anda
baca secara lebih luas melalui buku-buku yang mengulas sejarah dan
peradaban pra Islam, misalnya karangan Khalil Abdul Karim dengan judulnya
Al-Judzurat at-Tarikhiyyah la asy-syariah al Islamiyyah. Nah,
pertanyaannya sekarang adalah, mengapa Nabi tidak membawa syariat yang
sama sekali baru? Jawabannya mudah saja, karena jika membawa syariat baru
maka hampir bisa dipastikan dakwah Nabi gagal. Sama halnya jika Nabi
mengenalkan kesenian wayang di tanah Arab tentulah akan gagal karena
ketidakcocokan budaya. Meski Islam itu untuk seluruh umat manusia, namun
dalam konteks mengenalkan agama tersebut haruslah tetap mengacu dan
berkompromi pada ritual dan budaya lokal Arab agar tetap bisa diterima
masyarakat pada saat itu. Perhatikan firman Allah berikut ini :
Dan jikalau Kami jadikan Al Quraan
itu suatu bacaan dalam bahasa selain Arab, tentulah mereka mengatakan:
“Mengapa tidak dijelaskan ayat ayatnya?” Apakah (patut Al Quran) dalam
bahasa asing sedang (Rasul adalah orang) Arab? (Q.S Fushishilat (41) : 44)
Kami tidak mengutus seorang
rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi
penjelasan dengan terang kepada mereka. (Q.S Ibrahim (14) : 4)
Kalau Nabi membawa syariat baru maka
sudah pasti akan ditolak oleh orang Arab karena syariat itu akan menjadi
sangat asing bagi mereka. Coba kita ingat kembali misi utama Nabi yaitu
memperbaiki ahlak dan mengajarkan tauhid. Bayangkan jika Nabi harus
mengenalkan syariat baru, maka tentunya dakwah Nabi malah akan dipenuhi
oleh pengajaran ritual-ritual ibadah yang baru. Bisa jadi nantinya fokus
pada pembinaan ahlak akan terbengkalai karena umat lebih sibuk belajar
ibadah ritual tanpa memahami hakekat ritual itu sendiri. Padahal semua ritual
tersebut, tujuannya adalah untuk membentuk ahlak yang baik.
Hal yang sama juga telah dilakukan
oleh para wali songo. Contohnya Sunan Kudus membuat Masjid dengan atapnya
sama seperti pura (rumah ibadah umat Hindu). Syekh Siti Jenar tidak
mengajarkan “sholat ala Arab” kepada orang jawa. Sujud bagi orang Arab
adalah penghormatan yang tertinggi, sedangkan bagi orang jawa,
penghormatan tertinggi adalah duduk dengan tangan ditangkupkan diatas
kepala. Wali lain seperti Sunan Kalijaga juga mengenalkan Islam melalui
sekatenan, muludan, selametan, wayang dll.
Sampai saat ini, kita masih
mendapati Islam jawa yang diajarkan oleh Siti Jenar dan Sunan Kalijaga
yang kemudian lebih dikenal dengan nama Islam abangan atau kejawen. Dengan
demikian, para wali ini sebenarnya telah mengikuti sunnah Nabi yakni tidak
merubah kebiasaan masyarakat setempat melainkan memodifikasi sedemikian
rupa agar dakwahnya bisa diterima. Bagi para wali, yang terpenting dari
ibadah itu adalah tujuannya sedangkan “wadahnya” bisa fleksibel sesuai
dengan tradisi setempat.
Sekarang, sudah saatnya bagi kita
tidak lagi perang syariat antar aliran agama. Yang terpenting dari syariat
adalah isinya bukan kulitnya!. Syariat tanpa hakekat adalah sia-sia.
Hakekat tanpa syariat? Nah ini yang sebenarnya tidak ada!, orang yang
sudah mencapai hakekat, sudah pasti syariatnya ikut meski penerapannya
berbeda antar tiap kelompok, aliran dan agama. Adanya perbedaan haruslah
dihargai, bukan diperangi! Sebab cuma Allah-lah yang mengetahui sesat atau
tidaknya seseorang (Q.S 53 : 32, 6 : 117).
Kita harus mampu melampaui batasan
yang sifatnya lahiriah. Jangan melulu meributkan ritual fisik sholat! Tapi
lihatlah tujuan dari sholat itu sendiri. Jangan pula hanya berhenti pada
tataran sholat lima waktu saja. Sholat yang sejati adalah sholat yang
terus menerus selama 24 jam (sholat daim) karena sholat inilah yang mampu
melampui alam surga sehingga dapat kembali kepada-Nya. Disanalah nanti
orang-orang ‘arif akan mendapatkan kebahagiaan yang kekal, manunggal
bersama-Nya!
Bagi mereka yang ingin mendalami
sholat daim maka silahkan mencari ulama tauhid (guru mursyid). Ulama ini
cukup banyak hanya saja mereka tidak muncul ke permukaan. Mereka hanya mau
mengajari orang-orang yang mau mencapai maqam makrifat saja. Sama halnya
Nabi Muhammad pun hanya mengajari orang-orang tertentu saja misalnya para
sahabat seperti Ali bin Abi Thalib, Abu Bakar dll. Nah karena tidak
mengajarkan secara terang-terangan inilah maka kemudian sebagian umat
Islam menghakimi bahwa tasawuf yang
bermunculan adalah sesat. Padahal
ajaran tasawuf yang bermunculan semuanya bermuara ke para sahabat Nabi
seperti Ali, Abu Bakar dll. Bahkan ada kelompok tasawuf yang mewajibkan
murid-muridnya harus hafal silsilah dari guru mursyidnya hingga ke
Rasulullah. Ini menandakan bahwa Rasulullah memang mengajarkan tasawuf
atau cara mencapai makrifat kepada sahabatnya
lalu diwariskan kembali oleh sahabat
tersebut kepada generasi selanjutnya. Para imam mazhab sendiri mengakui
tasawuf sebagai ajaran yang sangat penting. Imam Syafi’i Ra mengatakan : “Aku
diberi rasa cinta melebihi dunia kalian semua. Meninggalkan hal-hal yang
memaksa, bergaul dengan sesama penuh kelembutan dan mengikuti ahli
tasawuf”.
Imam Ahmad bin Hambal Ra sebelum
bertasawuf mengatakan “Hai anakku, hendaknya engkau berpijak kepada Hadist.
Kamu harus berhati-hati bersama orang yang menamakan dirinya kaum sufi.
Karena kadang diantara mereka sangat bodoh dengan agama”. Kemudian setelah
berguru tasawuf kepada Abu Hamzah Al Baghdady, beliau meralat ucapannya :
“Hai anakku, hendaknya engkau bermajlis kepada para sufi karena mereka
bisa memberikan tambahan bekal kepada kita melalui ilmu yang banyak,
muroqobah, rasa takut kepada Allah, zuhud dan himmah yang luhur. Aku tidak
pernah melihat suatu kaum yang lebih utama ketimbang kaum sufi”.
Jadi, cara, usaha atau wasilah
apapun sepanjang itu bisa mendekatkan diri kepada Allah tidaklah dilarang.
Malah di Al Quran, kita dianjurkan mencari jalan yang mampu mendekatkan
diri kepada-Nya :
Hai, orang-orang yang beriman,
bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri
kepada-Nya, dan bersungguh-sungguh lah pada jalan- Nya, supaya kamu
mendapat keberuntungan (Q.S Al Maaidah (5) : 35)
Belajar tasawuf dengan berguru
kepada ulama tauhid merupakan usaha atau jalan untuk mendekatkan diri
kepada-Nya. Mengapa berguru itu penting? Keutamaan seorang guru mursyid
adalah mampu membimbing kita lebih terarah ketimbang kita melakukan
pencarian seorang diri. Dari sisi efisiensi waktu, jelas belajar kepada
seorang guru akan lebih cepat ketimbang belajar tanpa guru. Meski demikian
guru mursyid hendaknya tidak dikultuskan sedemikian rupa. Kita menimba
pelajaran dari beliau dan kita sendirilah yang
akan menjalankannya. Kita tetap
menjaga hubungan yang baik dengan dengan guru mursyid sebagai sesama orang
yang beriman.
Diluar sana, banyak juga orang yang
melakukan perjalanan spiritual seorang diri. Tentunya ia akan membutuhkan
waktu yang panjang dan hasilnya pun belum pasti bahkan bisa terperosok
kepada jalan yang keliru. Imam Ghozali adalah salah seorang filsuf yang
melakukan perjalanan panjang (salik) dalam menemui Tuhannya. Ia bahkan
harus mengasingkan diri dari keramaian orang banyak (uzlah) agar tidak
terganggu tirakatnya.
Tentu hidup di jaman sekarang sangat
sulit mengasingkan diri dari keramaian orang. Uzlah yang harus dilakukan
manusia modern hendaknya tidak harus menyendiri dari keramaian dan tidak
harus melepas tanggung jawab dunia dengan meninggalkan anak, istri.
Seorang sufi bernama Abu Said Al Khudri bahkan mengatakan :
“Manusia sempurna adalah orang yang
duduk diantara semua mahluk, berdagang bersama mereka, menikah serta
bercampur dengan sesama manusia. Namun mereka tidak lengah sedetikpun dari
mengingat Allah”.
Dengan uraian diatas, jelaslah bahwa
usaha untuk menemui Allah tidak mesti harus memutus hubungan
bermasyarakat. Allah bisa ditemui siapapun, ditempat apapun. Untuk menemui
Allah ternyata ada jalan terpendek (mazhud) yakni dengan mendapat
bimbingan dari guru mursyid. Rasullullah sendiri telah mencontohkan dalam
hal menemui Allah yaitu dengan mikraj yang dilakukan cukup semalaman saja.
Bandingkan dengan Sidharta Gautama yang membutuhkan waktu 6 tahun untuk
mencapai mikraj. Guru mursyid inilah yang mampu mengajarkan mikraj dengan
cepat sebagaimana yang telah dicontohkan Nabi Muhammad. Carilah guru
mursyid yang mampu memberikan jalan tercepat dan paling efektif dalam
usaha menemui-Nya sebagaimana yang dinyatakan dalam Al Quran :
Aku dapat membawa singgasana-Nya
dalam sekejab mata (Q.S An Naml (27) : 40)
Jalan pendek ini pun akhirnya diakui
jauh lebih efektif oleh Imam Ghozali dalam bukunya yang berjudul “misykat
cahaya”. Sebab Allah selalu memberi kemudahan kepada umat-Nya khususnya
bagi mereka yang memiliki keinginan kuat untuk menemui-Nya. Nabi Muhammad,
dalam Hadistnya mengatakan :
“Barang siapa ingin menjumpai Allah,
maka Allah pun ingin menjumpainya”
“Barang siapa yang tidak ingin
menjumpai Allah, maka Allah pun tidak ada
keinginan untuk menjumpainya”
”berjalan kamu menuju Allah, maka
berlari Allah menghampirimu. Sejengkal
kamu mendatangi Allah, maka sedepa
Allah mendatangimu”.
Proses Kultivasi adalah sebuah
proses Tazkiyatun Nafs, yaitu sebuah proses penyucian jiwa & raga.
Meningkatkan kualitas kemanusian kita dalam meraih derajat manusia mulya Insan
Kamil. Ada 3 kekuatan yg berlangsung saat proses, yaitu Takhalli, Tahalli,
& Tajalli. Pemurnian Energi, Transformasi Energi, & Munculnya Potensi.
“Dialah
yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul dari golongan mereka,
yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, menyucikan mereka dan mengajarkan
kepada mereka Kitab dan Hikmah (As-Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya
dalam kesesatan yang nyata”. (Al-Jumu’ah: 2).
Jiwa manusia sering menerima
serangan dari berbagai penyakit hati yang mengakibatkan akhhlak manusia menjadi
buruk, tidak sesuai dengan yang Allah gariskan dan Rasul-Nya contohkan. Bisa
jadi orang yang terkena penyakit hati akan menjadi malas beribadah, pelaku
maksiat, atau hamba dari hawa nafsunya.
Oleh karena itu, menyucikan dan
membersihkan jiwa (tazkiyatun nafs) dari berbagai penyakit hati merupakan suatu
keharusan sebagaimana yang Allah serukan dalam Al-Qur’an, dan itu menjadi
aktifitas yang tak terpisahkan dari keseharian orang muslim. Alah sangat
menyukai hamba-hamba-Nya yang menyucikan jiwa dan sangat membenci
hamba-hamba-Nya yang mengotori jiwa dengan kemaksiatan.
Dengan demikian, seseorang yang
mengharapkan keridhaan Allah dan kebahagiaan abadi di hari akhir hendaknya
benar-benar memberi perhatian khusus pada tazkiyatun nafs (penyucian jiwa). Ia
harus berupaya agar jiwanya senantiasa berada dalam kondisi suci. Kedatangan
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ke dunia ini tak lain adalah untuk
menyucikan jiwa manusia. Ini sangat terlihat jelas pada jiwa para sahabat
antara sebelum memeluk Islam dan sesudahnya. Sebelum mengenal Al-Islam jiwa
mereka dalam keadaan kotor oleh debu-debu syirik, ashabiyah (fanatisme suku),
dendam, iri, dengki dan sebagainya. Namun begitu telah disibghah (diwarnai)
oleh syariat Islam yang dibawa Rasulullah SAW, mereka menjadi bersih,
bertauhid, ikhlas, sabar, ridha, zuhud dan sebagainya.
Keberuntungan dan kesuksesan
seseorang, sangat ditentukan oleh seberapa jauh ia men-tazkiyah dirinya.
Barangsiapa tekun membersihkan jiwanya maka sukseslah hidupnya. Sebaliknya yang
mengotori jiwanya akan senantiasa merugi, gagal dalam hidup. Hal itu diperkuat
oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan sumpahNya sebanyak sebelas kali
berturut-turut, padahal dalam Al-Qur’an tidak dijumpai keterangan yang memuat
sumpah Allah sebanyak itu secara berurutan. Marilah kita perhatikan firman
Allah sebagai berikut:
“Demi
matahari dan cahayanya di pagi hari, dan demi bulan apabila mengiringinya, dan
malam bila menutupinya, dan langit serta pembinaannya, dan bumi serta
penghamparannya, dan jiwa serta penciptaannya (yang sempurna), maka Allah
mengilhamkan pada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketaqwaannya, sungguh
beruntunglah orang yang menyucikan jiwanya, dan sungguh merugilah orang yang
mengotori jiwanya”.(Asy-Syams: 1-10).
Dalam ayat yang lain juga disebutkan
bahwa nantinya harta dan anak-anak tidak bermanfaat di akhirat. Tetapi yang
bisa memberi manfaat adalah orang yang menghadap Allah dengan Qalbun Salim ,
yaitu hati yang bersih dan suci.
Firman Allah:
“yaitu
di hari harta dan anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang
menghadap Allah dengan hati yang bersih”. (Asy-Syu’araa’:88-89).
Hakekat Tazkiyatun Nafs
Secara umum aktivitas tazkiyatun nafs mengarah pada dua kecenderungan, yaitu
- Membersihkan jiwa dari sifat-sifat tercela, membuang
seluruh penyakit hati.
- Menghiasi jiwa dengan sifat-sifat terpuji.
Kedua hal itu harus berjalan
seiring, tidak boleh hanya dikerjakan satu bagian kemudian meninggalkan bagian
yang lain. Jiwa yang cuma dibersihkan dari sifat tercela saja, tanpa dibarengi
dengan menghiasi dengan sifat-sifat kebaikan menjadi kurang lengkap dan tidak
sempurna. Sebaliknya, sekedar menghiasi jiwa dengan sifat terpuji tanpa
menumpas penyakit-penyakit hati, juga akan sangat ironis. Tidak wajar.
Ibaratnya seperti sepasang pengantin, sebelum berhias dengan beragam hiasan,
mereka harus mandi terlebih dahulu agar badannya bersih. Sangat buruk andaikata
belum mandi (membersihkan kotoran-kotoran di badan) lantas begitu saja dirias.
Hasilnya tentu sebuah pemandangan yang mungkin saja indah tetapi bila orang mendekat
akan tercium bau tak sedap.
Wasilah Tazkiyatun Nafs
Wasilah (sarana) untuk men-tazkiyah
jiwa tidak boleh keluar dari patokan-patokan syar’i yang telah ditetapkan Allah
dan rasulNya. Seluruh wasilah tazkiyatun nafs adalah beragam ibadah dan
amal-amal shalih yang telah disyariatkan di dalam Al-Qur’an dan Sunnah.
Sesungguhnya rangkaian ibadah yang
diajarkan Allah dan RasulNya telah memuat asas-asas tazkiyatun nafs dengan
sendirinya. Bahkan bisa dikatakan bahwa inti dari ibadah-ibadah seperti shalat,
shaum, zakat, haji, dzikir dan lain-lain itu tidak lain adalah aspek-aspek
tazkiyah.
Shalat misalnya, bila dikerjakan
secara khusyu’, ikhlas dan sesuai dengan syariat, niscaya akan menjadi
pembersih jiwa, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam
berikut:
Abu Hurairah radhiyallaahu anhu
berkata: Saya telah mendengar Rasulullah n bersabda: “Bagaimanakah pendapat
kamu kalau di muka pintu (rumah) salah satu dari kamu ada sebuah sungai, dan ia
mandi daripadanya tiap hari lima kali, apakah masih ada tertinggal kotorannya?
Jawab sahabat: Tidak. Sabda Nabi: “Maka demikianlah perumpamaan shalat lima
waktu, Allah menghapus dengannya dosa-dosa“. (HR Al-Bukhari dan Muslim).
Dari hadits di atas nampak sekali
bahwa misi utama penegakan shalat adalah menyangkut tazkiyatun nafs. Artinya,
dengan shalat secara benar (sesuai sunnah), ikhlas dan khusyu’, jiwa akan
menjadi bersih, yang digambarkan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam
seperti mandi di sungai lima kali. Sebuah perumpamaan atas terhapusnya kotoran-kotoran
dosa dari jiwa. Secara demikian, bisa kita bayangkan kalau ibadah shalat ini
ditambah dengan shalat-shalat sunnah. Tentu nilai kebersihan jiwa yang diraih
lebih banyak lagi.
Demikian pula masalah shaum (puasa).
Hakekat puasa yang paling dalam berada pada aspek tazkiyah. Sabda Rasulullah
Shallallahu alaihi wasallam:
“Barangsiapa tidak meninggalkan
perkataan dan perbuatan dusta maka Allah tidak butuh terhadap puasanya dari
makan dan minum“. (HR Al-Bukhari, Ahmad dan lainnya).
Dalam hadits yang lain disebutkan:
“Adakalanya orang berpuasa, bagian
dari puasanya (hanya) lapar dan dahaga”. (HR Ahmad).
Ini menunjukkan betapa soal-soal
tazkiyatun nafs benar-benar mewarnai dalam ibadah puasa, sehingga tanpa
membuat-buat syariat baru sesungguhnya apa yang datang dari syariat Rasulullah
Shallallahu alaihi wasallam bila diresapi secara mendalam benar-benar telah
mencukupi.
Hal yang sama dijumpai pada ibadah
qurban. Esensi utama qurban adalah ketaqwaan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
yang berarti soal pembersihan jiwa dan bukan terbatas pada daging dan darah
qurban.
Dan firman Allah Subhanahu wa
Ta’ala:
“Daging-daging dan darahnya itu,
sekali-kali tidak dapat mencapai derajat (keridhaan) Allah, tetapi keaqwaan
daripada kamulah yang dapat mencapainya“.(Al-Hajj: 37).
Kalau diteliti lagi masih banyak
sekali ibadah dalam syariat Islam yang muara akhirnya adalah pembersihan jiwa.
Dengan mengikuti apa yang diajarkan syariat, niscaya seorang muslim telah
mendapatkan tazkiyatun nafs. Contohnya adalah para sahabat Rasulullah. Mereka
adalah generasi yang paling dekat dengan zaman kenabian dan masih bersih
pemahaman agamanya, karenanya mereka memiliki jiwa-jiwa yang suci lantaran
ber-ittiba’ pada sunnah Rasul dan tanpa menciptakan cara-cara bid’ah dalam
tazkiyatun nafs. Mereka mendapatkan kesucian jiwa tanpa harus menjadi seorang
sufi yang hidup dengan syariat yang aneh-aneh dan njlimet (rumit).
Bagi seorang muslim, ia harus
berupaya menggapai masalah tazkiyatun nafs dari serangkaian ibadah yang
dikerjakannya. Artinya, ibadah yang dilakukan jangan hanya menjadi gerak-gerak
fisik yang kosong dari ruh keimanan dan taqarrub kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala. Sebaliknya, ibadah apapun yang kita kerjakan hendaknya juga bernuansa
pembersihan jiwa. Dengan cara seperti inilah, insya Allah kita bisa mencapai
keberuntungan.
Takhalli, Tahalli, & Tajalli
Manusia dilengkapi oleh Allah dua hal pokok, yaitu jasmani dan rohani. Dua hal
ini memiliki keperluan masing-masing. Jasmani membutuhkan makan, minum,
pelampiasan syahwat, keindahan, pakaian, perhiasan-perhiasan dan kemasyhuran.
Rohani, pada sisi lain, membutuhkan kedamaian, ketenteraman, kasih-sayang dan
cinta.
Para sufi menegaskan bahwa hakekat
sesungguhnya manusia adalah rohaninya. Ia adalah muara segala kebajikan.
Kebahagiaan badani sangat tergantung pada kebahagiaan rohani. Sedang,
kebahagiaan rohani tidak terikat pada wujud luar jasmani manusia. Sebagai inti
hidup, rohani harus ditempatkan pada posisi yang lebih tinggi. Semakin tinggi
rohani diletakkan, kedudukan manusia akan semakin agung. Jika rohani berada
pada tempat rendah, hina pulalah hidup manusia. Fitrah rohani adalah kemuliaan,
jasmani pada kerendahan. Badan yang tidak memiliki rohani tinggi, akan selalu
menuntut pemenuhan kebutuhan-kebutuhan rendah hewani. Rohani hendaknya dibebaskan
dari ikatan keinginan hewani, yaitu kecintaan pada pemenuhan syahwat dan
keduniaan. Hati manusia yang terpenuhi dengan cinta pada dunia, akan melahirkan
kegelisahan dan kebimbangan yang tidak berujung. Hati adalah cerminan ruh.
Kebutuhan ruh akan cinta bukan untuk dipenuhi dengan kesibukan pada dunia. Ia
harus bersih.
Dalam rangkaian metode pembersihan
hati, para sufi menetapkan dengan tiga tahap : Takhalli, Tahalli, dan Tajalli.
Takhalli, sebagai tahap pertama dalam mengurus hati, adalah
membersihkan hati dari keterikatan pada dunia. Hati, sebagai langkah pertama,
harus dikosongkan. Ia disyaratkan terbebas dari kecintaan terhadap dunia, anak,
istri, harta dan segala keinginan duniawi.
Dunia dan isinya, oleh para sufi,
dipandang rendah. Ia bukan hakekat tujuan manusia. Manakala kita meninggalkan
dunia ini, harta akan sirna dan lenyap. Hati yang sibuk pada dunia, saat
ditinggalkannya, akan dihinggapi kesedihan, kekecewaan, kepedihan dan
penderitaan. Untuk melepaskan diri dari segala bentuk kesedihan, lanjut para
saleh sufi, seorang manusia harus terlebih dulu melepaskan hatinya dari
kecintaan pada dunia.
Tahalli, sebagai tahap kedua berikutnya, adalah upaya pengisian
hati yang telah dikosongkan dengan isi yang lain, yaitu Allah (swt). Pada tahap
ini, hati harus selalu disibukkan dengan dzikir dan mengingat Allah. Dengan
mengingat Allah, melepas selain-Nya, akan mendatangkan kedamaian. Tidak ada
yang ditakutkan selain lepasnya Allah dari dalam hatinya. Hilangnya dunia, bagi
hati yang telah tahalli, tidak akan mengecewakan. Waktunya sibuk hanya untuk
Allah, bersenandung dalam dzikir. Pada saat tahalli, lantaran kesibukan dengan
mengingat dan berdzikir kepada Allah dalam hatinya, anggota tubuh lainnya
tergerak dengan sendirinya ikut bersenandung dzikir. Lidahnya basah dengan
lafadz kebesaran Allah yang tidak henti-hentinya didengungkan setiap saat.
Tangannya berdzikir untuk kebesaran Tuhannya dalam berbuat. Begitu pula, mata,
kaki, dan anggota tubuh yang lain. Pada tahap ini, hati akan merasai
ketenangan. Kegelisahannya bukan lagi pada dunia yang menipu. Kesedihannya
bukan pada anak dan istri yang tidak akan menyertai kita saat maut menjemput.
Kepedihannya bukan pada syahwat badani yang seringkali memperosokkan pada
kebinatangan. Tapi hanya kepada Allah. Hatinya sedih jika tidak mengingat Allah
dalam setiap detik.
Setelah tahap ‘pengosongan’ dan
‘pengisian’, sebagai tahap ketiga adalah Tajalli. Yaitu, tahapan dimana
kebahagian sejati telah datang. Ia lenyap dalam wilayah Jalla Jalaluh, Allah
subhanahu wata’ala. Ia lebur bersama Allah dalam kenikmatan yang tidak bisa
dilukiskan. Ia bahagia dalam keridho’an-Nya. Pada tahap ini, para sufi
menyebutnya sebagai ma’rifah, orang yang sempurna sebagai manusia luhur.
Syekh Abdul Qadir Jaelani
menyebutnya sebagai insan kamil, manusia sempurna. Ia bukan lagi hewan, tapi
seorang malaikat yang berbadan manusia. Rohaninya telah mencapai ketinggian
kebahagiaan. Tradisi sufi menyebut orang yang telah masuk pada tahap ketiga ini
sebagai waliyullah, kekasih Allah. Orang-orang yang telah memasuki tahapan
Tajalli ini, ia telah mencapai derajat tertinggi kerohanian manusia. Derajat
ini pernah dilalui oleh Hasan Basri, Imam Junaidi al-Baghdadi, Sirri Singkiti,
Imam Ghazali, Rabiah al-Adawiyyah, Ma’ruf al-Karkhi, Imam Qusyairi, Ibrahim Ad-ham,
Abu Nasr Sarraj, Abu Bakar Kalabadhi, Abu Talib Makki, Sayyid Ali Hujweri,
Syekh Abdul Qadir Jaelani, dan lain sebagainya. Tahap inilah hakekat hidup
dapat ditemui, yaitu kebahagiaan sejati.
Wallahu a’lam